Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Larangan berbuat riba

 Larangan Berbuat Riba 

Riba adalah istilah yang barangkali sudah tak asing lagi di telinga. Dalam hukum syariah Islam, hukum dari riba adalah haram. Apa itu riba dan bagaimana dalilnya?

Riba adalah istilah yang berasal dari Bahasa Arab yang berarti kelebihan atau tambahan. Namun dalam konteks syariah Islam, arti riba adalah mengerucut pada kelebihan dari pokok utang.

Kelebihan dari pokok utang inilah yang membedakan riba dengan transaksi jual beli yang dikenal dengan ribhun atau laba. Di mana kelebihan berasal dari selisih dalam jual beli.

Riba adalah bunga

Sederhananya, riba adalah tambahan yang disyaratkan dan diterima pemberi pinjaman sebagai imbalan dari peminjam utangDalam transaksi bisnis sekarang, riba adalah identik dengan bunga. Adapun besaran bunga tersebut mengacu pada suatu persentase tertentu yang dibebankan kepada peminjam.

Islam dengan tegas melarang umatnya untuk melakukan transaksi jual-beli dan hutang piutang jika di dalamnya mengandung riba. Larangan tersebut juga tertulis dalam beberapa ayat Al-Quran maupun hadits.

:Hukum riba adalah haram

Hukum riba adalah haram. Dikutip dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjajikan sebelumnya. Riba jenis ini yang kemudian disebut dengan riba nasi'ah.

Sementara bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (qard) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu dan persentase di muka.

Hukum bunga, menurut MUI, dinyatakan memenuhi kriteria riba, yakni riba nasi'ah. Praktik pembungaan yang masuk kategori riba adalah haram, baik yang dilakukan oleh bank, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya.,Riba Ada yang Haram & Halal?

Tidak semua riba diartikan sebagai suatu pemahaman ataupun arti yang negatif. Tapi, yang membuatnya dilarang ataupun diperbolehkan adalah sistem kerja yang diterapkan dalam menghasilkan sebuah riba ataupun pertambahan nominal tersebut. Untuk lebih jelasnya, 

berikut ini kita akan membahas mengenai riba, apakah riba haram atau halal?


1. Pengertian riba haram

Pengambilan keuntungan yang melebihi nominal pinjaman diharamkan oleh sebagian besar agama. Mulai dari Islam, Katolik, Yahudi, dan Kristen, semuanya mempunyai dalil dan juga landasan hukum masing-masing.


Praktik riba sebenarnya memang sudah ada sejak lama. Sehingga agama sudah lebih dulu memberikan larangan untuk mengambil tambahan dari pinjaman yang diberikan kepada orang lain. Dimana praktik pinjaman yang diberi bunga ini dianggap akan memberatkan pihak yang meminjam uang atau debitur.


Terlebih lagi bila mereka sedang berada di dalam masa kesulitan. Konteks riba sekarang ini yaitu seperti bunga bank konvensional dan juga bunga pinjaman, baik itu pinjaman dari lembaga keuangan pada umumnya seperti pegadaian, perusahaan pembiayaan, ataupun perusahaan pinjaman online.


2. Pengertian riba halal

Selain haram, riba juga ada yang halal, misalnya saja investasi. Dimana jenis penambahan nilai ini tidak termasuk ke dalam riba. Investasi merupakan sebuah transaksi ataupun usaha yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan berdasarkan nilai jual kembali sesuai dengan kesepakatan yang bersifat transparan.Selain itu, investasi juga diartikan sebagai salah satu upaya dalam memberikan modal kepada pihak lain dengan tujuan agar memperoleh keuntungan dari hasil usaha tersebut. Sebagian besar orang berpendapat bahwa investasi termasuk ke dalam kegiatan usaha. Dimana investasi dapat disalurkan kepada bank-bank syariah guna membiayai usaha. Sehingga akan memperoleh keuntungan dari modal usaha itu.

Sementara untuk bunga pinjaman hanya berfokus untuk melipatgandakan dari nominal pokok hutang yang diberikan kepada para peminjam. Hal yang sudah jelas berbeda antara investasi dengan usaha dalam melipatgandakan keuntungan melalui bunga pinjamanDasar Hukum Riba

Riba merupakan salah satu hal yang sangat dilarang di dalam Agama Islam. Di dalam Al Quran dan juga Hadits, telah ditetapkan bahwa dasar dari hukum riba adalah haram. Berikut ini adalah penjelasan selengkapnya:

Agama Islam secara tegas melarang umatnya untuk melakukan transaksi hutang piutang ataupun jual beli bila di dalamnya mengandung riba. 

Kaidah wadii'ah

Wadiah

 Jenis Wadiah

1. Wadiah Yad Amanah 


Wadiah yang asli, tidak terjadi pengubahan esensi akad, titipan yang berlaku sesuai kaidah asal titipan, yakni menjaga amanah. Penerima titipan tidak mempergunakan barang titipan dan tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut.


Contoh: Save Deposit Box (SDB). Nasabah menitipkan barang kepada Bank Syariah. Sejak awal transaksi disepakati adanya jual beli manfaat barang (sewa penyimpanan) dan/atau jual beli manfaat perbuatan (jasa penjagaan atau pemeliharaan) barang titipan tersebut, sehingga Bank Syariah boleh mengenakan fee kepada Nasabah.


2. Wadiah Yad Dhamanah


Wadiah dimana penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.


Wadiah yad dhamanah ini terjadi tahawwul al aqd (perubahan akad) dari akad titipan menjadi akad pinjaman oleh karena titipan tersebut dipergunakan oleh penerima titipan. Dengan demikian, pada skema wadiah yad dhamanah ini berlaku hukum pinjaman qardh (jika barang titipan dihabiskan) atau pinjaman ariyah (jika barang titipan tidak dihabiskan).Rukun Wadiah

: Adanya ijab dan qabul (shighat)

Harta atau barang yang bisa dititipkan hanyalah barang yang bisa disimpan. Barang yang tidak dapat disimpan seperti benda yang jatuh ke dalam air atau hewan yang tengah kabur ke alam liar tentu tidak dapat dititipkan.

Harta atau barang yang dititipkan harus halal.

Barang yang dititipkan adalah barang yang memiliki nilai atau qimah sehingga dapat dilihat sebagai maal.

Untuk melakukan wadiah, harus ada orang yang menitipkan barang, orang yang dititipkan, wadiah atau barang yang dititipkan, dan ijab qabul (sighah titipan).

:Syarat Wadiah

Baik orang yang menitipkan atau orang dititipkan keduanya harus berakal

Kedua belah pihak harus telah baligh, dan mumayiz. Namun, ada ulama yang mengatakan bahwa anak dibawah umur boleh melakukan akad wadiah selama tidak ada syarat dan ketentuan pedagangan jual beli yang sulit dipahami oleh anak kecil tersebut.

Harta atau barang yang dititipkan harus dapat diberikan secara fisik.

Faktor Batalnya Akad Wadiah

Wadiah dapat batal au terputus, apabila terjadi beberapa hal dibawah ini:


Meninggalnya orang yang menitipkan barang atau orang yang dititipkan barang.

Adanya pengembalian barang dari orang yang dititipkan baik itu sesuai permintaan orang yang menitipkan maupun tidak.

Apabila salah satu pihak berada dalam kondisi koma berkepanjangan, atau hilang akal.

Terjadi hajr atau legal restriction yang di mana hilangnya kompetensi penitip ataupun yang dititipi mengalami kebangkrutan (pailit).

Apabila terjadi pemindahan kepemilikan, yaitu pihak yang dititipi mentransfer hak milik barang kepada pihak lain dengan cara dijual atau diberikan sebagai hadiah.

:Landasan Hukum Wadiah

Landasan hukum dari transaksi wadiah sendiri berasal dari Q.S. Al-Baqarah : [283] yang berbunyi “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”


Dan Q.S. An-Nisa : [58] yang memiliki arti “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”


Kaidah Aariyah

 Dalam Islam, ariyah artinya perkara pinjam-meminjam. Hal ini merupakan kebiasaan dan perkara lazim dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, tak semua orang dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Lantas, apa hukum dan rukun ariyah dalam Islam?

Secara definitif, ariyah berasal dari bahasa Arab yang artinya ganti pemanfaatan sesuatu kepada orang lain. Muhammad Abdul Wahab dalam Fiqih Pinjam Meminjam (2018) menuliskan bahwa ariyah adalah izin menggunakan suatu benda dari orang lain, tanpa imbalan, serta tidak mengurangi atau merusak benda tersebut.

Ariyah dapat melibatkan benda apa pun selama tergolong halal. Pinjam-meminjam dapat dalam bentuk uang, tanah, kendaraan, dan benda-benda lainnya. Berdasarkan paham tersebut, sebagian orang menyamakan perkara ariyah sebagai aktivitas berutang.

Seiring berlalu waktunya, perkara ariyah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Kini, ada institusi keuangan yang bertugas menangani urusan pinjam-meminjam. Sebagai misal, lembaga koperasi simpan-pinjam, bank-bank syariah, atau lembaga muamalah lainnya.

Hukum Ariyah dalam Islam

Secara umum, hukum asal pinjam-meminjam atau ariyah adalah mubah atau boleh dilakukan. Hal ini tergambar dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 15:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya,” (QS. Al-Maidah [5]: 2).

Akan tetapi, hukum mubah itu berubah menjadi sunah apabila pinjam-meminjam dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan yang cukup penting, misalnya meminjam uang untuk biaya berobat.


Jika kebutuhan itu lebih mendesak lagi, hukumnya dapat menjadi wajib. Misalnya, meminjamkan pakaian untuk salat wajib, yang jika tidak dipinjami, orang bersangkutan tidak bisa salat karena bajunya najis.


Hukum ariyah juga dapat menjadi haram apabila pinjam-meminjam barang untuk menjalankan maksiat, misalnya meminjam senjata untuk merampok.

Sementara itu, bagi orang yang meminjam barang, maka ia wajib mengembalikannya ke sang pemilik selepas barang itu dimanfaatkan.

Demikian juga dalam perkara utang, orang yang meminjam uang harus melunasinya ketika sampai tempo disepakati kedua belah pihak.

Nabi Muhammad SAW bersabda: "Pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang-orang yang menanggung sesuatu harus membayar dan hutang harus ditunaikan,” (H.R. Tirmidzi).Rukun Ariyah dalam Muamalah

Rukun adalah perkara pokok yang harus dipenuhi. Dalam hal ariyah, jika salah satu rukun ada yang gugur, akad pinjam-meminjam menjadi batal dan tidak sah.


Ubaidillah dalam buku Fikih (2020) menuliskan empat rukun ariyah yang wajib ada dalam akad pinjam-meminjam sebagai berikut:


Adanya mu’ir atau orang yang meminjami benda tersebut.

Adanya musta’ir atau orang yang meminjam benda tersebut.

Adanya musta’ar atau barang yang akan dipinjam.

Adanya sighat ijab kabul.

Shigat ijab kabul ini berupa permintaan izin untuk meminjam barang atau uang. Apabila seseorang bermaksud meminjam, sedang ia tak meminta izin atau tanpa ada shigat ijab kabul, hal itu bukan termasuk ariyah, melainkan pencurian.


Selain itu, barang yang dipinjam wajib dijaga kondisi dan kualitasnya. Si peminjam selayaknya merawat barang pinjaman tersebut seakan-akan merawat barang miliknya pribadi.


Hal ini tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Tanggung jawab barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu,” (H.R. Ibnu Majah).


- Copyright © seni budaya - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -